Alquran adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril AS sebagai petunjuk hidup bagi umat manusia. Di dalamnya terdapat berbagai macam petunjuk, perintah yang mesti dikerjakan dan larangan yang harus ditinggalkan, serta kisah-kisah umat terdahulu.
Adapun hadis Nabi adalah perbuatan, perkataan dan perilaku kehidupan Nabi SAW. Ia menjadi semacam penerjemah atas keterangan yang global dan perlu penjelasan lebih rinci tentang ayat-ayat Alquran.
Alquran dan hadis Nabi SAW menjadi sumber hukum dalam Islam. Nabi SAW menyatakan, apabila umat Islam berpegang teguh pada keduanya, maka dia akan selamat dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
Oleh para ulama, kedua sumber hukum Islam ini kemudian diterjemahkan (ditafsirkan) lagi untuk memudahkan umat dalam menjalani segala hukum-hukum yang terdapat didalamnya, terutama dalam melaksanakan ibadah mahdlah (wajib) kepada Allah SWT.
Salah satu ulama yang mencoba untuk memudahkan umat dalam melaksanakan dan mengamalkan ajaran dari kedua sumber hukum Islam itu adalah Syekh Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hisni ad-Dimasyi asy-Syafii. Ia lahir sekitar abad ke-9 Hijriyah (900 H). Namanya disandingkan dengan nama salah seorang Imam atau tokoh fikih terkenal, yaitu Imam Syafii (150-204 H), karena ia menganut mazhab Syafii. Al-Imam Taqiyuddin mengarang sebuah kitab fikih yang berjudul Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar, biasa disebut dengan Kifayatul Akhyar.
Kitab Kifayah al-Akhyar ini adalah kitab fikih yang cukup ringkas namun sangat detil dalam menerangkan hukum-hukum fikih seperti bersuci, shalat, puasa, zakat, haji, wasiat, waris, perkawinan, dan lain sebagainya. Didalamnya juga dilengkapi dengan dalil-dalil yang menjadi dasar hukum dari obyek pembahasan tersebut.
Memang, dibandingkan dengan kitab-kitab fikih lainnya seperti Fath al-Muin karya Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Qarib karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi, atau Kasyifah al-Saja karya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi, kitab Kifayah al-Akhyar terbilang cukup tebal. Ia memuat sekitar 304 halaman (terbitan Thoha Putra Semarang). Begitu juga dengan terbitan Darul Kutub al-Islamiyah,Beirut, Libanon, yang memuat 300-an halaman.
Kitab-kitab fikih seperti Kasyifah al-Saja, Fath al-Muin, Fath al-Qarib al-Mujib, Matan Taqrib karya Ibnu Syuja' dan kitab Kifayah al-Akhyar ini sangat intens dipelajari di berbagai lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren-pesantren salaf di Indonesia, termasuk di berbagai negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Selain itu, di beberapa pengajian (majelis taklim), terkadang kitab tersebut juga dijadikan pembahasan utama.
Karena dalam dan luasnya pembahasan yang diungkapkan dalam kitab-kitab ini, termasuk Kifayah al-Akhyar, sejumlah ulama dan intelektual muslim berlomba-lomba menerjemahkan kitab tersebut ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia, Malaysia, Thailand, Inggris, Prancis, dan lainnya.
Komplet dan Pilihan
Sesuai dengan namanya (Kifayah al-Akhyar), tampaknya Syekh Al-Imam Taqiiyuddin Abu Bakr menginginkan kitab ini menjadi pilihan utama dan terbaik dalam pembahasan masalah-masalah fikih, terutama dalam mazhab Syafii.
Syekh Taqiyuddin mengharapkan, umat Islam yang mempelajari kitabnya ini, agar secara giat menekuni dan mendalami ilmu fikih. Menurutnya, mereka yang serius menekuni ilmu fikih dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT, niscaya ia telah meretas sebuah jalan menuju surga.
Hal itu diungkapkannya dalam pembukaan (muqaddimah) dari Kifayah al-Akhyar. 'Faidza kana al-fiqh bihadza al-martabah al-syarifah wa al-mazaya al-munifah, kana al-ihtimam bihi fi al-darajah al-ula. Wa sharf al-auqat al-nafsiyyah bal kull al-'umr fihi aula. Lianna sabilahu sabil al-jannah.'
''Karena memiliki martabat mulia dan keunggulan yang luhur ini, maka menekuni ilmu fikih menjadi prioritas utama. Bahkan akan lebih baik jika seseorang menekuninya sepanjang hayat. Sebab, menekuni fikih adalah meretas jalan surga,'' jelas Syekh Taqiyuddin.
Memang tak disangsikan lagi, hanya dalam literatur dan kitab-kitab fikihlah terpapar berbagai kajian yang lebih mendalam dan detil tentang berbagai ritual ibadah dalam Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, perkawinan, waris, perceraian, dan lainnya. Dalam konteks ini, tentu saja fikih lebih unggul dan mulia bagi mereka yang senantiasa tekun mempelajari dan mengamalkannya. Nabi SAW bersabda: ''Barangsiapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan padanya, niscaya Dia akan memudahkan dan membuatnya pandai dalam masalah agama.'' (Man yurid Allah bihi khairan, yufaqqihhu fi al-din).
Dan bila dilihat secara sepintas dalam bentuknya yang tebal (300 halaman), tentu kitab ini sangat komplet dan dalam saat membahas materi-materi fikih. Hal ini menunjukkan kedalaman dan luasnya ilmu yang dimiliki oleh pengarangnya. Tak berlebihan bila kitab Kifayah al-Akhyar senantiasa dijadikan rujukan para ulama saat membahas masalah-masalah umat dan ibadah.
Misalnya, dalam masalah bersuci (bab Thaharah), Syekh Taqiyuddin mengungkapkan, tentang cara bersuci yang diwajibkan dan disunnahkan, makna dari bersuci baik secara bahasa maupun istilah syara, dan lain sebagainya. Syekh Taqiyuddin menjelaskan, thaharah atau bersuci secara bahasa adalah membersihkan, merapikan.
Sedangkan secara istilah, tulis pengarang, maknanya adalah membersihkan hadas dan najis yang melekat pada tubuh dan pakaian seseorang yang diakibatkan oleh sesuatu sebab yang merusak (tidak sah) apabila digunakan untuk beribadah.
Hadas atau najis itu antara lain, air kencing, air besar, mani, madzi, berhubungan suami istri, darah, nanah, air liur binatang yang diharamkan, dan lain sebagainya. Dan untuk membersihkan hadas atau najis itu dari tubuh atau pakaian, harus dilakukan dengan mencucinya, berwudlu, mandi, atau bertayamum. Secara terperinci, Syekh Taqiyuddin menjelaskan tentang tata cara membersihkannya, termasuk anjuran-anjuran (Sunnah) dalam melakukannya.
Misalnya, saat menjelaskan perbedaan antara mani, wadi, dan madzi serta kewajiban mandi (janabat). Menurutnya, jika seseorang keluar mani, baik karena bersenggama (jima’), mimpi, atau onani (istimna’), maka ia wajib mandi.
Ia menjelaskan hal ini dengan mengutip hadis Nabi SAW, diantaranya yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri RA. ''Sesungguhnya air itu adalah dari air.'' (Innama al-maa`u min al-maa`i) (HR Muslim). Maksud dari hadis ini adalah bahwa sesungguhnya mandi itu adalah karena keluarnya mani.
Pengarang melanjutkan, ''Jika yang keluar adalah madzi, maka cukup dibasuh saja, dan tidak wajib mandi. Namun keluarnya madzi dapat membatalkan wudhu.'' Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA, ''Aku adalah seorang laki-laki yang sering mengeluarkan madzi, tapi aku malu bertanya kepada Rasulullah SAW karena kedudukan puteri beliau [sebagai isteriku]. Maka aku memerintahkan Miqdad bin Al-Aswad al-Kindi untuk bertanya kepada Rasulullah SAW. Maka berkatalah Rasulullah SAW, ''[Hendaklah dia] membasuh alat kemaluannya dan berwudhu.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Ia menjelaskan, mani beda dengan madzi. Kalau madzi, adalah cairan yang keluar karena rangsangan seksual. Sedangkan mani adalah cairan yang mempunyai tiga ciri khas yang membedakannya dengan madzi (dan juga wadi). Pertama, mempunyai bau yang khas yang agak kuat. Jika sudah kering baunya seperti telur. Kedua, keluar dengan cara terpancar, dengan beberapa kali pancaran (hentakan). Ketiga, keluarnya disertai dengan rasa nikmat, yang diikuti dengan redanya syahwat. Jika salah satu dari tiga ciri ini terwujud, maka ia disebut mani dan harus wajib mandi.
Sedangkan wadi, adalah cairan yang keluar pada saat kencing. Wadi membatalkan wudhu sebagaimana madzi. Madzi dan wadi adalah najis, sedangkan mani suci, namun bila keluar dari kemaluan seseorang, baik karena berhubungan suami isteri ataupun sebab lainnya, maka ia wajib mandi. (Lihat penjelasan serupa oleh Syekh Ali ar-Raghib, dalam fasal Ahkam ash-Shalat, Bab Mandi Besar (al-Ghuslu) dan bab Macam-Macam Najis (al-Najasat).
Begitu juga dengan pembahasan lainnya seperti shalat, puasa, zakat, haji, serta masalah thalaq (perceraian). Dalam masalah perceraian, pengarang mengungkapkan, thalaq atau cerai adalah memutuskan ikatan pernikahan (atas kehendak suami). Thalaq terbagi dua, yakni sharih dan kinayah.
Sharih adalah kata yang bermakna cerai dan tidak membutuhkan niat. Alqur'an menggunakan tiga kata sharih yang bermakna cerai. Masing-masing terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 229 dan Ath-Thalaq ayat 2. Adapun kinayah adalah kata atau kalimat yang mengandung makna cerai dan bukan cerai, dan dibutuhkan niat. Kata (kalimat) kinayah bermakna cerai jika disertai niat, menurut Ijma'. (Lihat penjelasan pengarang kitab Kifayah al-Akhyar, bagian 2/86 dan 84).
Sistematika Pembahasan
Kitab Kifayah al-Akhyar terbilang cukup rinci dan detil dalam menerangkan satu topic pembahasan. Ia disusun dengan sistematika yang sangat baik, sebagaimana kitab-kitab fikih lainnya. Kitab ini dibagi dalam dua pokok bahasan. Pada bagian pertama, pengarang memulai pembahasannya tentang bersuci (thaharah) sebanyak 17 pasal, lalu dilanjutkan dengan bab shalat (16 pasal), zakat (15 pasal), puasa (7 pasal), haji (5 pasal), dan bab jual beli (23 pasal). Setiap bahasan selalu diawali dengan penjelasan makna dari masing-masing hukumnya, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan macam-macamnya.
Sementara itu, dalam bagian kedua, pengarang menjelaskan tentang masalah Luqathah, waris (faraidl) dan wasiat, bab nikah, jinayat (pidana), hudud (denda), jihad, peradilan, dan lainnya. Semuanya diterangkan secara lugas dan jelas. (syahruddin el-fikri/republika)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar
Post a Comment